BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Potret sosial-politik di tanah air cukup menakjubkan
sekaligus memprihatinkan. Sejak kegagalan konsolidasi demokrasi transisi pasca
Soeharto dan dengan adanya indikasi hadirnya “Siklus Otoritarianisme” di tanah
air, ditambah dengan surutnya gerakan mahasiswa (GM). Alih-alih
“redemokratisasi” dalam kestabilan, sebaliknya semua dengan mudah menghantarkan
“rekonsolidari” kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi metamorfosis orde baru
kembali dapat mengambil alih peran penting dalam ruang public (Negara).
Pemberian posisi terhormat tehadap Soeharto—yang pada awal demokrasi transisi
menjadi musuh bersama rakyat Indonesia, dan upaya subordinasi partisipasi
politik PNS adalah adalah dua indicator sukses “Rekonsolidasi” kekuatan lama Soehartorian.
Belum lagi, ppenguasaan jalur eksekutif—mulai dari posisi wakil presiden,
beberapa gubernur dan Bupati / Wali Kota, serta jalur legislative khususnya
DPR/MPR semakin membuka jalan
“rekonsolidasi” menuju “Siklus Otoritarianisme”. Di sisi lain, realitas dinamika gerakan
mahasiswa yang pada posisi saat ini seharusnya menjadi pilar penting menahan
laju rekonsolidasi berada dalam kondisi tidak berdaya demoralisasi.
Grakan-gerakan revolusioner cenderung tidak sinergis, terfragmentasi, sectarian,
dan praktis tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Beberapa potret aksi-aksi mahasiswa yang mengemuka
akhir-akhir ini merujuk dengan jelas pada keterpurukan dan ketidakberdayaan
gerakan. Aksi penolakan kebijakan kenaikan harga BBM yang cukup menyentak,
praktis tidak terkonsolidasi dengan rapi (cenderung bergerak sendiri-sendiri),
hanya melibatkan segelintir mahasiswa kalau di banding GM tahun 1998.[1] Dinamika
yang cenderung mengarah pada konflik ideologis sectarian inilah sebab dari
fragmentasi gerakan selama ini tapi dengan hadirnya semangat baru yang sudah di
uji dengan berbagai pendiskusian, beberapa organisasi yang berbeda pandangan
tidak lagi mempermasalahkan idiologi tapi bagaimana kerjasama dan solidaritas
itu muncul disetiap situasi. Dengan
adanya pola yang dilakukan organisasi-organisasi mahasiswa masih mengedepankan
masing-masing bendera organisasi mulai luntur dengan semakin
terspesialisakannya pembagian kerja yan obyektif untuk menuju masyarakat yang
modern.
Posisi delimatis mahasiswa yang masih disibukkan dalam
ranah internal ini, semakin menuntut seluruh elemen gerakan mahasiswa untuk
merenung sejenak bagaimana bisa duduk bersama dengan melepas egoisitas
sektarian demi terwujudnya gerakan mahasiswa yang dinamis. Mencoba keluar dari keterpasungan
konsolidasi antar organisasi mahasiswa (ORMAWA) adalah langkah awal yang harus
dilakukan. Seperti dengan melakukan
solidaritas dan kerjasama dalam menyikapi ketimpangan sosial tanpa
memperdebatkan idiologi masing-masing organisasi yang pada akhirnya akan
semakin bermuara pada fragmentasi gerakan (terpecah-belahnya gerakan
mahasiswa).
Solidaritas-kerjasama demikian, menjadi sangat mungkin terwujud manakala
dari masing-masing kutub bisa dimengerti tentang masalah ideologi. Dalam
konteks ini, upaya memahami ideologi gerakan mahasiswa merupakan hal yang
sangat penting. Apabila diteliti lebih mendetail, kajian ideologi merupakan
pusat kajian ilmu sosial. Maka, untuk bisa mewujudkan solidaritas dan kerjasama
antar organisasi, harus benar-benar mengkaji bagaimana akar ideologi terbentuk
dan dijadikan sebagai landasan gerak. Ideologi bisa dimaksudkan sebagai
keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah
gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu
sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan
proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan
kekuasaan.[2] Dengan
demikian, ideologi memiliki fungsi mengkonstruksi, mengkonsolidasikan dan
menciptakan standar nilai dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah
yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana menentukan bagaimana
seseorang atau kelompok memandang sebuah persoalan dan bagaimana kemudian menyikapinya.
Diskursus ideologi adalah istilah yang seringkali
dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, selain itu juga merupakan
diskursus yang sifatnya hanya sebatas angan-angan atau cita-cita (The
Ideologikcal Spirit). Banyak para ahli sosiolog kontemporer yang mengurai
tentang kegamangan ideologi ini berawal dari rumitnya interpretasi atas konsep
ideologi itu sendiri. Bisa kemudian, ideologi adalah hal yang tidak bisa
dipungkiri. Ideologi merupakan subyek yang menjadikan spirit tersendiri bagi
penganutnya dan tidak menutup kemungkinan membutakan keberbedaan yang ada di
dunia. Namun, begitu juga ideologi setiap kali harus siap berubah dan mengalami
rekonstruksi sesuai zaman (Zeitgist) secara niscaya. Jadi, sangat jauh dari
nalar apabila ideologi dipandang Sebagai subyek sistem yang determinis.[3] Ada juga yang mengurai ideologi ini tak lebih
dari sekedar sistem ide. Ideologi secara historis memiliki keabsahan yang
bersifat psikologis. Ideologi “mengatur” manusia dan memberikan ruang bagi
manusia untuk berdinamika di dalamnya (Bergerak), mendapatkan kesadaran akan
posisi mereka, dan perjuangan mereka dalam dealektika kehidupan.[4]
Dari uraian tentang beberapa fungsi ideologi dalam
landasan gerak organisasi tersebut, bisa terlihat bahwa pengaruh ideologi
terhadap kehidupan sosial sangatlah krusial. Apalagi pada ranah kekuasaan.
Seperti dalam manuskrip ideologinya Altusser, bahwa kelanggengan suatu
kekuasaan bisa tewujud manakala sudah menerapkan dua variable introduksion,
yaitu aparat Negara represif (Reppresif State Apparatus) dan
aparat negara ideologi (Ideologickal State Apparatus) dalam struktur
Negara-Bangsa. Dari sinilah terlihat betapa kompleksnya fungsi ideologi dalam
mewarnai aktivitas sosial dan politik.
Kemudian kaitannya dengan solidaritas antar ORMAWA
mengarah pada muara bagaimana meminimalisir sentiment ideologi dengan melakukan
kerjasama, saling terbuka, berdialog sesuai dengan arah perjuangan yang pada
akhirnya akan diperjuangkan bersama.
Pola solidaritas sosial dan kerjasama ini, tidak menutup
kemungkinan dilakukan organisasi yang berbasiskan agama Islam seperti HMI,
PMII, KAMMI, IMM, dengan organisasi gerakan yang berbasiskan demokrasi
kerakyatan (People’s Democration) dan juga tergolong organisasi kiri[5] yaitu
Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND).
Organisasi mahasiswa Islam dalam hal ini adalah organisasi perjuangan
yang berasaskan Islam. Organisasi yang meletakkan Islam sebagai landasan
perjuangan. Bahwa Islam adalah agama untuk semua umat dan bangsa. Secara
rasional, ideologi yang di jadikan landas- tumpu oleh mereka adalah bersifat
dogmatik. Sebab, Islam sebelum dijadikan ideologi, bagi mereka adalah agama
yang niscaya memberikan tuntunan yang harmoni dalam kehidupan. Namun, Islam
ketika sudah dijadikan sebuah ideologi gerak, akan mengarah pada Islam yang Rohmatal
Lil 'Alamin. Ideologi Islam tidak lagi hanya menjadi kontrol moral dalam
kehidupan sosial. Lebih dari itu ideologi Islam lebih luas bisa menjadi rahmat
politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Sedangkan yang terjadi pada organisasi non-Islam
(organisasi mahasiswa pro demokrasi). Organisasi ini lebih mengumandangkan
jargon demokrasi daripada jargon moral keagamaan. Seperti Liga Mahasiswa
Nasional Untuk Demokrasi, organisasi yang berideologikan "demokrasi
kerakyatan". Yaitu, melandaskan setiap perjuangannya hanya untuk
pencapaian demokrasi sejati yaitu demokrasi rakyat. Demokrasi yang mengarah
pada landasan kekuasaan ada sepenuhnya pada rakyat dan untuk seluruh umat
manusia. Ideologi ini didasari oleh teori-teori yang berpaham Marxis-Leninis.
Sebuah pencapaian negara tanpa kelas elite tertentu yang mendominasi. Mereka
lebih menjunjung tinggi kebersamaan (Comunale) daripada kelas-kelas yang
berlapis-lapis. Bagi mereka, demokrasi kerakyatan akan lebih universal dalam
menuntaskan problem sosial, ekonomi dan politik bangsa. Dengan demokrasi
kerakyatan, tidak ada lagi perjuangan atas nama kelompok tertentu atau agama,
dan kelas tertentu. Semuanya hanya dibaca perjuangan rakyat. Semuanya akan
bermanfaat hanya untuk rakyat sedunia.
Kedua variabel ideologi yang telah dianut dua kubu
organisasi tersebut dapat dikatakan berbeda karena adanya ranah konsentrasi
dasar yang berbeda. Di dalam organisasi Islam, segala acuan gerak disandarkan
pada norma-norma al-Qur’an dan al-Hadith. Jadi, bagaimana secara implementatif,
Islam sebisa mungkin dijadikan landasan gerak dalam mengawal perubahan sosial.
Dilain pihak, organisasi lebih terkesan moralis, sopan, penuh tata-krama.
Sedangkan yang terjadi pada organisasi mahasiswa dalam hal ini LMND, lebih
mengedepankan toleransi tanpa batas-batas ritual. Persoalan agama tidak menjadi
dasar atau bahasan dalam melaju dan bergerak. Agama adalah bagian yang paling
privat pada setiap individu. Seperti yang pernah ditegaskan Marx, bahwa kerja
adalah komoditas utama untuk melewati revolusi selanjutnya. Tidak ada yang bisa
merubah manusia kecuali manusia itu sendiri. Jadi, sistem kerja yang menjadi
prioritas menuju Determinisme sikap politik dan ekonomi.
Dari interpretasi ideologi yang berseberangan tersebut,
sebenarnya ada kesamaan pada wilayah "kemaslahatan". Sasaran dari
kedua organisasi tersebut adalah sama, hanya saja katalogisasinya yang berbeda.
Ketika organisasi Islam lebih menggunakan " Umat", maka organisasi
non-Islam menggunakan "Rakyat". Dengan begitu, kedua organisasi tersebut
memang sama pada wilayah perjuangannya. Namun, manakala dianalaisa pada wilayah
pijakan bergeraknya (ideologi), maka akan terlihat keberbedaannya.
Adapun letak dari perbedaan dari ideologi dua domain
organisasi tersebut sangatlah mencolok, dimana organisasi mahasiswa yang berbasis
Islam seperti HMI, PMII, IMM, KAMMI, tersebut adalah sebuah organisasi yang
timbul dari dialektika sejarah pemikiran ideologi. Sedangkan ideologi bagi
mereka adalah landasan gerak yaitu agama itu sendiri, maka dari itu
organisasi-organisasi tersebut berazaskan Islam dan segala tindakan dan
renungannya pasti melulu tersandar pada ranah ritualitas yaitu agama Islam dan
ajaran-ajarannya. Sedangkan LMND yang posisinya sebagai liga mahasiswa yang
berasaskan demokrasi kerakyatan adalah menganut Marxis-Leninis. Maka segala
bentuk pijakan gerak dan cara pandang terkait ideologi sangat berbeda. LMND
yang marxis dan sudah tidak membicarakan ranah ketuhanan di dalam organisasi
sudah mesti berbeda dengan para organisasi Islam di atas.
Logikanya, Marxisme-Leninisme adalah faham materealisme
revolusioner yang difungsikan dalam organisasi LMND sebagai pijakan nyata bahwa
persoalan ekonomi, sosial, dan politik terkait rakyat harus diperjuangkan
dengan cara manusia sendiri. Tidak ada yang bisa merubah dari nasib manusia
sendiri kecuali manusia itu bekerjasama dana bersama bersatu membentuk satu
wadah yang revolusioner. Faham seperti ini sangatlah materialis dan terlihat
berani. Dalam setiap tesis Karl Marx atau buku-bukunya selalu menguraikan
masalah sosial, ekonomi, dan revolusi. Di dalam organisasi hanyalah berbicara
kebebasan, kemerdekaan, bagaimana kelas pekerja, kaum miskin kota, mahasiswa
dan rakyat mendapat hak yang semestinya. Hal tersebut harus tercapai dengan
tindakan yang material yaitu kerja organisasi yang revolusioner. Sekali lagi,
LMND tidak mempermasalahkan agama di dalam organisasi. Agama dianggap sudah
selesai pada privatisasi individu-individu dari perorangan. Agama adalah urusan
manusia dengan penciptanya. Jadi wajar bahwa ideologi yang di pakai oleh LMND
sangat berseberangan dengan apa yang dianut oleh organisasi-organisasi Islam
pada mestinya.
Karena adanya
kesadaran yang sangat rasional dan obyektif bahwa dibutuhkan solidaritas sosial
dan kerjasama antar organisasi karena tidak akan pernah mampu untuk berjuang
sendirian dalam memenangkan perjuangan lepas dari penindasan. Maka, perbedaan
ideologi dalam hal ini tidak menjadi penghalang untuk bersatu dan bekerjasama.
Tentunya dengan kontrak kesepahaman sosial-politik yang sudah disepakati.
Dimata kedua
organisasi tersebut, perjuangan yang dilakukan secara sekterian hanya akan
membuahkan hasil yang minim dan semakin memicu fragmentasi (perpecahan).
Artinya, semakin satu kelompok berjuang sendiri, maka perjuangan semakin
terlihat sectarian, semakin terlihat subyektif pada kelompoknya sendiri. Dengan
landasan di atas dapat di tarik satu
permasalahan yang krusial dalam penulisan skripsi ini. Yaitu,
bagaimana bentuk solidaritas dan
kerjasama antara Organisasi Mahasiswa Islam dengan Liga Mahasiswa Nasional
untuk Demokrasi di Surabaya?.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah di uraikan di
atas, maka penulis dapat merumuskan satu rumusan masalah yaitu:
Bagaimana bentuk
solidaritas dan kerjasama Organisasi Mahasiswa Islam dengan Liga Mahasiswa
Nasional untuk Demokrasi di Surabaya?
C. Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam
penulisan skripsi ini adalah :
Untuk mendapatkan gambaran tentang bentuk
solidaritas-kerjasama macam apa yang dapat dilakukan oleh Organisasi Mahasiswa
Islam dengan (LMND) di Surabaya.
D.
Manfaat Penelitian
Kegunaan hasil penelitian yang penulis harapkan adalah
bermanfaat untuk sekurang-kurangnya 2 hal yaitu :
1.
Kegunaan secara teoritis, yaitu dapat menjadi acuan
untuk mewujudkan pola hubungan sosial antara organisasi Islam dengan organisasi
non Islam dengan dinamis.
2.
Kegunaan secara praktis, yaitu dapat menjadi acuan
dalam menerapkan hubungan sosial secara fleksibel antara organisasi Islam
dengan liga mahasiswa nasional untuk demokrasi.
E.
Definisi Konsep
Untuk mempermudah dalam pembahasan, maka di bawah ini
akan dijelaskan pengertian dari skripsi yang berjudul “Solidaritas Sosial dan
Kerjasama Organisasi Mahasiswa Islam dengan Liga Mahasiswa untuk Demokrasi di
Surabaya”. Dan agar tidak terjadi kesalahpahaman di dalam memahami judul
skripsi ini maka perlu kiranya penulis uraikan tentang pengertian judul
tersebut, sebagai berikut :
1.
Solidaritas Sosial dan Kerjasama
Solidaritas sosial yang pernah diuraikan oleh Emeil Durkhaim[6] terbagi
menjadi dua. Pertama, solidaritas mekanik dan kedua, solidaritas organik. Yang
masing-masing perannya mengarah pada hubungan sosial dalam masyarakat.
Sedangkan yang maksud solidaritas sosial dan kerjasama dalam
skripsi ini adalah bentuk solidaritas maupun kerjasama yang di lakukan
organisasi mahasiswa Islam seperti (HMI, IMM, KAMMI, PMII, dll), dengan Liga
Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi.
2.
Organisasi Mahasiswa Islam
Organisasi Mahasiswa Islam adalah wadah mahasiswa untuk
melakukan pergerakan atas ide-idenya sebagai bentuk aspirasi. Sebuah organisasi
yang berasaskan Islam dan berjuang untuk wawasan masyarakat dan bangsa. Penempatan kata “Islam” dalam formulasi
organisasi adalah dalam konteks menjadikan Islam sebagai sumber motivasi dan
aspirasi dalam kehidupan politik dan cita-cita organisasi Islam dirumuskan
dalam konteks seluas-luasnya.
3.
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi
Liga mahasiswa nasional untuk demokrasi adalah nama
organisasi ini yang selanjutnya disingkat dengan LMND. Organisasi ini didirikan
pada kongres I yang dilaksanakan pada tanggal 9-11 Juli 1999, di Bogor. Yang
dilahirkan dari SMID( solidaritas mahasiswa Indonesia untuk demokrasi) sebagai
jawaban atas kebuntuan politik dan gerakan mahasiswa pasca 1998, LMND merupakan
payung organisasi-organisasi lokal dan komite-komite aksi, itulah kenapa LMND
disebut dengan Liga karena menggabungkan beberapa organisasi dan komite aksi
yang mempunyai karakter kerakyakyatan dan internasionalis serta berprinsip
sentralisme demokratik, dalam pandangan LMND organisasi yang kuat adalah
organisasi yang mampu menyatukan gerak organisasi dalam makna kesatuan gerak
untuk menghindari fregmentasi pemahaman dalam organisasi, garis massa sebagai
organisasi yang mengabdi pada situasi obyektif LMND selalu berada di
tengah-tengah massa untuk memimpin setiap tuntutan massa [7]
F.
Kerangka Teoritik
Ada beberapa teori yang diajukan penelitian ini.
Penggunaan teori dalam hal ini tidak lebih hanya untuk sekedar sebagai dasar
pijakan atau kerangka untuk menguraikan bentuk hubungan sosial yang dilakukan
kubu organisasi yang berbeda ideologi, namun dapat menjalin solidaritas dan
kerjasama. Sedangkan teori sosiologi yang di gunakan untuk sebagai landasan
peneliti adalah paradigma sosiologinya Emile Durkheim, tentang gagasan
solidaritas organis dan mekanis dalam hubungan sosial.
G. Sistematika
Pembahasan
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas pada skripsi
ini, penulis akan menguraikan isi uraian pembahasan. Adapun sistematika
pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab dengan pembahasan sebagai berikut
:
BAB I PENDAHULUAN
Meliputi: Konteks Penelitian, Fokus Penelitian, Tujuan penelitian,
Manfaat Penelitian, Definisi Konsep dan Sistematika Pembahasan
BAB II PRESPEKTIF TEORITIS
Meliputi: Perspektif kajian kepustakaan konseptual yang terdiri dari:
Seputar Masyarakat dan Organisasi, yang di dalamnya membahas pengertian
masyarakat, pengertian organisasi sosial, jenis-jenis organisasi sosial.
Seputar Solidaritas Sosial yang meliputi pengertian, Ruang Lingkup, Implikasi
solidaritas organik
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Meliputi: Pendekatan dan jenis penelitian, subyek dan
sasaran penelitian, jenis dan sumber data, tahap-tahap penelitian, teknik
pengumpulan data, teknik analisa data, teknik keabsahan data.
BAB IV DESKRIPSI POKOK SUBYEK
PENELITIAN
Meliputi: deskripsi Situasi Gerakan Mahasiswa di Surabaya
menjadi penghantar kondisi politik kekinian. Respons mahasiswa pada pergolakan
nasional yang di dalamnya banyak organisasi tumbuh subur dan berdinamika
menjemput dan mengisi kemerdekaan dalam bingkai solidaritas gerakan.
BAB V PENYAJIAN DATA DAN
ANALISIS DATA
Meliputi: Deskripsi solidaritas dan kerja sama
organisasi mahasiswa Islam di ruang gerakan Surabaya, seperti HMI, PMII, IMM,
KAMMI. Bentuk solidaritas dan kerjasama antara organisasi mahasiswa Islam dengan
LMND di Surabaya. Selanjutnya analisis data terkait perbedaan ideologi antara
organisasi Islam dengan organisasi non Islam (LMND). Analisis tentang
ke-tersambungan dalam bergerak meski dengan ideologi yang berbeda.
BAB VI PENUTUP
Adalah bab terakhir atau penutup dari keseluruhan isi
pembahasan skripsi yang berisi kesimpulan dan saran.
[1] Edukasi
edisi 37, Potret Kehidupan Mahasiswa, hal. 24.
[2] Franz
Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius,1991),
hal. 230.
[3] Louis
Altusser, Tentang Ideologi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004),hal. 23.
[4] Roger
Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta: Insist, 1999), hal.
83.
[5] Istilah Kiri
yang dimaksud disini adalah organisasi mahasiswa yang mendasarkan
ideologinya pada Marxis-Leninis radikal, demi mewujudkan kesejahteraan
bangsa. Yang juga termasuk penganut Marxis-Leninis adalah PRD, LMND, FPPI, FMN,
dan organisasi mahasiswa yang merupakan sel-sel simpatisan dan membangun
kekuatan rakyat.
[6] George
Ritzer, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: kencana, 2005 ), hal. 24.
[7] AD/ART
LMND, Bab I Pasal 1-2 (kongres 3 Malang: LMND, 2002-2004), hal. 1.
0 komentar:
Posting Komentar